Berkatalah Baik atau Diam

Pic : Pixabay.com


 

Seorang gadis muda ingin sekali memberi hadiah untuk ibunya. Sudah setahun belum menemukan pekerjaan, ia merasa sangat membebani hidup ibunya. Kali ini, meski hanya pekerjaan sementara dalam waktu sebulan ini, ia ingin memberi ibunya hadiah. Meski artinya harus menahan diri untuk tidak membeli barang-barang lain yang ia inginkan, tak masalah. Ia hanya ingin menyenangkan hati ibunya.
Dengan niat memberi kejutan yang manis, ia pun membeli sepasang sandal wanita bermodel open toe yang cantik dan nyaman dipakai. Harganya tergolong mahal dan ia tahu persis ibunya tidak akan pernah mau membeli sandal seharga itu. Tetapi untuk kali ini saja ia ingin ibunya memakai sesuatu yang lebih bagus dan lebih berkualitas dari yang sebelumnya.
Bagaimana reaksi ibunya? Di luar dugaan. Ketika mencoba sandal tersebut, ia lupa mengeluarkan busa pengalas di dalam sandalnya sehingga terasa sempit ketika dipakai. Jari kaki ibunya menyembul keluar melewati ujung sandalnya. Kata-kata yang keluar pun bernada omelan.
"Kenapa beli sandal sempit sekali begini? Ukuran kaki Ibu kan 38, ini malah nomor 37. Ibu tidak mau pake. Jari keluar-keluar begini nanti malah dikiran minjem sandal orang. Lain kali kalo mau beli tanya-tanya dulu. Daripada salah begini."
Si gadis terdiam. Kenapa tidak pas? Ia tahu ukuran kaki ibunya. Lagipula mereka sering saling bertukar sandal atau sepatu. Ia pun sadar masih ada busa pengalas bagian dalam sandal. Setelah mengeluarkannya ia meminta ibunya mencoba kembali.
Kali ini pas. Kaki ibunya masuk dengan pas di dalam sandal, tidak longgar dan tidak pula sempit. Si gadis tersenyum. Namun komentar sang ibu berikutnya membuatnya kembali kecewa.
"Ibu tidak suka model sepatu begini. Kenapa sih tidak beli ukuran 39 saja? Supaya bisa sekalian dipakai adikmu."
Si gadis terluka.
"Bu, tidak adakah yang lain yang bisa Ibu ucapkan? Aku sausah payah menabung untuk beli sandal ini."
"Ya sudah, kamu saja pakai."
Patahlah hati si gadis. Ia masuk ke dalam kamar dan menangis dalam diam. Seperti itu ternyata rasanya ketika ekspektasi tak sebanding dengan realita. Hatinya begitu bahagia tadi karena merasa bisa menyenangkan hati orang tuanya. Namun reaksi sang ibu ternyata sungguh di luar dugaannya.
Beberapa saat kemudian, samar-samar didengarnya ibunya berjalan kesana kemari mencoba sandal tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Terima kasih, ya, sudah membelikan Ibu sandal. Harganya mahal begini. Uangmu gak habis? ….

... dan lain-lain. Suara sang ibu melembut ketika berbicara. Tidak lagi ketus dan meninggi seperti sebelumnya. Namun si gadis terlanjur kecewa. Rasanya semua yang dilakukannya sia-sia, tidak ada gunanya, tidak dianggap dan tidak berharga di mata ibunya.

That’s a real story. Adakah yang pernah merasakan hal yang sama? Di posisi si gadis? Atau justru di posisi si ibu? Well, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai pemberian orang. Bisa dengan langsung mengucapkan terima kasih, tersenyum senang, langsung dipakai, atau respon-respon lainnya. Dengan begitu, si pemberi pun akan ikut merasa bahagia. Bukankah ia memberi dengan niat untuk membahagiakan kita?

Jika memang tidak suka, tidak cocok dengan selera, tahanlah dulu dalam hati. Cukup berterimakasihlah, karena terima kasih tidak hanya diucapkan ketika kita menyukai pemberiannya, tetapi juga karena kita merasa bersyukur telah dipilih untuk sebagai penerimanya. Hadiah, selalu diberikan kepada orang yang disukai, disayangi dan dianggap penting, bukan? Maka untuk merespon, berkatalah yang baik atau diam. Meski diam ketika menerima hadiah pun rasanya agak terlalu.

 

*Catatan di Minggu malam jelang midnight

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEKAL MAKAN ISTIMEWA

Buku Cerita Anak : How Rude!

Buku Cerita Anak: TURTLE AND TORTOISE ARE NOT FRIENDS