Gen Y di Pedalaman Pulau Timor

Sebagai Millenials atau generasi Y yang lahir di pertengahan tahun 80an, aku juga pun mengalami masa transisi dari hal-hal yang bersifat analog ke digital. Bedanya karena tumbuh besar di daerah terpencil, pengalaman masa kecilku lebih banyak berputar pada dunia non digital. Siaran TV komersil sudah banyak bermunculan dengan segala macam tayangan menariknya. Sayangnya, listrik di daerah kami hanya dinyalakan pada malam hari saja. Satu-satunya hiburan adalah TV, namun terbatas jam malam ala Bapak dan Ibu. Alasannya ya karena tidak ada tayangan untuk anak-anak di malam hari.

Pagi hingga sore hari, karena listrik tidak menyala, yang bisa kami lakukan hanya bermain di luar rumah. Segala macam permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, atau adu karet gelang akan dimainkan. Permainan tradisional seperti ini hanya bisa dilakukan secara beramai-ramai. Teman bermain kami biasanya adalah anak-anak tetangga di lingkungan koramil yang sekaligus juga teman satu sekolah. Tempat bermainnya di halaman kantor koramil yang memang sangat luas, seukuran setengah lapangan sepak bola.

Kalau lagi sepi dan hanya ada beberapa anak, kami akan berjalan-jalan di sekeliling rumah, mencari apa saja yang seru untuk dimainkan. Kadang-kadang mengumpulkan ranting-ranting kering pohon lamtoro lalu dirangkai menjadi seperti kemah. Tanah bagian bawahnya ditutupi daun-daun kering agar bisa diduduki. Mulailah permainan rumah-rumahan dan masak memasak alami ala kami, pake berbagai macam daun kering, biji-bijian, dan tungku dari batu.

Jika pohon asam di seberang rumah sedang musimnya berbuah, kami akan berkeliaran di bawahnya mencari buah-buah asam masak yang berjatuhan. Dibawa ke rumah, dikupas trus dibalur gula pasir, dimakan deh. Rasanya persis seperti permen legendaris tamar*n. Asem-asem manis gitu. Cuma kalo kebanyakan makan siap-siap aja langit-langit mulut jadi lecet karena ngisap butir-butir gula, hihi.

Teman-temanku juga sering mengumpulkan buah kom a.k.a bidara Arab untuk dimakan. Aku pernah mencobanya sekali tapi tidak suka. Oh ya, mereka juga suka makan biji lamtoro mentah. Duh, aku tidak suka bau dan rasanya. Padahal banyak manfaatnya untuk kesehatan kan ya? Di sekitar rumahku memang banyak tumbuh pohon lamtoro. Daun-daunnya biasanya diambil untuk makanan kambing dan rantingnya yang sudah kering dijadikan kayu bakar.

Jika cuaca sedang bagus, matahari tidak bersinar terik, kami bermain di pantai yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari rumah. Mengejar kepiting-kepiting hantu atau mengumpulkan cangkang kerang selalu jadi pilihan menyenangkan selain berlari-lari berkejaran tanpa alas kaki di atas pasir pantai yang lembut.

Satu hal yang kusesali adalah aku tidak pernah beruntung merasakan pengalaman menemukan telur-telur penyu di pantai atau menangkap ikan-ikan kecil yang terperangkap di karang ketika air laut surut dan menyisakan genangan pada lekukan-lekukan batu karang. Selama kurang lebih 4 tahun tinggal di daerah pantai itu aku sama sekali tidak pernah mengalami hal-hal di atas. Hanya kebagian ceritanya saja. Kadang-kadang juga makan telur penyu rebus, atau bahkan daging penyunya.

Jika air laut sedang pasang, tempat bermain kami pindah ke bebatuan besar yang letaknya tak jauh dari rumahku. Batu-batu ukurannya lebih besar dari meja makan, mulus dan bagus dijadikan tempat nongkrong. Dari atas batu, akan terlihat laut biru membentang luas, gemerlapan ditimpa cahaya matahari. Well, suddenly I'm longing for that place.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEKAL MAKAN ISTIMEWA

Buku Cerita Anak : How Rude!

Buku Cerita Anak: TURTLE AND TORTOISE ARE NOT FRIENDS