In Memorial: Ramadan dan Idulfitri di Rantau Orang

Salah satu tantangan di perantauan adalah menjadi minoritas, terutama dalam masalah kepercayaan. Seperti yang kualami semasa kecil di salah satu wilayah Timor Leste. Tumbuh besar di wilayah ini sejak usia satu setengah tahun membuatku tidak pernah membandingkan apapun dan cenderung membuat kesimpulan sendiri berdasarkan pengamatan. Salah satunya adalah bahwa kaum muslim di bulan Ramadan beribadah di Aula Kodim *sigh. Kesimpulan sepihak itu buru-buru diralat oleh ibuku. Beliau berkata, ini hanya karena keadaan darurat saja, karena kita belum punya masjid.

Tak ada masjid satu pun di kabupaten ini. Itulah mengapa kemudian ketika Ramadan tiba, para muslim pendatang, umumnya pedagang, polisi, tentara, guru ataupun pegawai instansi pemerintah lainnya, sepakat melaksanakan salat tarawih berjamaah di Aula Kodim yang lumayan luas.  Aku pun mengingat informasi baru itu dengan sebaik-baiknya dan tidak lagi bertanya ketika suatu waktu kami pindah, lalu salat tarawihnya diadakan di rumah.

Baoknana namanya, ibukota kecamatan tempat Bapak pindah dinas. Jangankan masjid, keluarga muslim di sini bahkan jauh lebih sedikit dibandingkan di ibukota kabupaten sebelumnya. Hanya ada beberapa keluarga muslim yang rata-rata anaknya masih balita. Otomatis yang muslim di SD saat itu hanya aku dan adikku.

Tentu saja kami berpuasa. Belajar di sekolah dalam keadaan puasa tidak terlalu sulit. Tak terlalu banyak godaan karena tidak ada teman yang makan di sekitar kami, tidak ada kantin sekolah dan tidak ada jajanan yang dijual di sekitar sekolah juga. Menjelaskan apa itu puasa kepada teman-teman yang penduduk asli pun tidak terlalu susah karena mereka pun punya ritual puasa dalam agama mereka sehingga bisa sedikit membayangkan.

Malam hari setelah buka puasa, kami akan berkumpul di rumah salah satu dari pendatang muslim yang kira-kira memiliki ruangan yang memungkinkan sebagai tempat salat tarawih berjamaah. Yang menjadi imam bergiliran. Begitu pula ketika salat Idulfitri. Takbirannya mengikuti suara takbiran di TV atau radio. Jamaah shalat Ied pun berkurang jika ada yang mudik. Jangan ditanya sepinya. Aku baru menyadari itu ketika sudah kembali ke Gorontalo, karena sudah menemukan pembanding.

Untuk menyambut Lebaran, Ibu mengajakku membuat kue kering. Ini adalah salah satu bagian favoritku karena aku bertugas sebagai penghias kuenya. Tahu kue kerawang a.k.a kue karawo khas Gorontalo? Kue kering yang bagian atasnya dihiasi berbagai macam gambar bunga atau motif-motif lain. Cara menghiasnya tentu saja digambar satu persatu. Ibu akan memberi satu contoh lalu aku mengikutinya. Rasanya senang sekali menyemprotkan pasta gula berwarna-warni itu ke atas kue dan membentuk gambar yang cantik ketika mengering.

Tiba hari raya, tidak ingin larut dalam kesedihan karena tidak bisa mudik dan Lebaran jauh dari keluarga, Ibu akan memasak dalam jumlah banyak lalu mengundang para tetangga untuk makan di rumah. Lama kelamaan, hal ini menjadi kebiasaan dan para tetangga pun langsung berkunjung ke rumah setiap Lebaran. Percaya tidak percaya, momen Idulfitri pun terasa jadi lebih istimewa karena rumah menjadi ramai. Ada banyak orang berkunjung untuk berbincang dan makan bersama. Meski berbeda suku, agama, budaya dan bahasa, semuanya bisa membaur dan saling bercakap-cakap. Bukankah itu membahagiakan? Bertahun kemudian, menjalani Ramadhan dan Idulfitri di kampung sendiri ternyata jauh lebih membahagiakan dan teristimewa lagi, namun kenangan akan Ramadhan dan Idulfitri di rantau akan selalu tersimpan dengan rapi, menghangatkan hati di kala rindu menyapa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEKAL MAKAN ISTIMEWA

Buku Cerita Anak : How Rude!

Buku Cerita Anak: TURTLE AND TORTOISE ARE NOT FRIENDS